top of page
  • Writer's pictureSihol Christian Robirosa

Dicernment (Penilaian)

DISCERNMENT (Penilaian)

Rekan-rekan BTBM,

Saat ramainya kontroversi tentang sikap pemimpin-pemimpin Gereja terhadap wabah CovId19, maka pertanyaan mendasar yang penting dibaliknya adalah “apakah sebenarnya perbedaan antara “menghakimi” dengan “menilai” ajaran-ajaran dalam kekristenan itu?” Perlukah kita menilai suatu ajaran, atau biarkan saja suatu ajaran merebak, jangan menilai, nanti kita jatuh kedalam penghakiman.

Kata “menilai” disini kita hubungkan dengan pengertian kata “Discernment” supaya mudah membedakannya dengan kata “menghakimi.” Menurut definisi kamus Oxford, discernment dalam pengertian Kristen adalah:

“suatu persepsi yang tanpa penghakiman, dengan maksud untuk memperoleh tuntunan rohani dan pengertian”

Jadi Discernment (Penilaian) didefinisikan sebagai sesuatu yang diperlukan dalam rangka kita memperoleh pengertian yang benar tentang suatu ajaran, tanpa perlu penghakiman. Menilai pengajaran adalah MUTLAK diperlukan bagi setiap orang, agar tidak ikut masuk kedalam pengajaran-pengajaran yang menyesatkan.

Belajar dari Kesesatan Pemimpin-pemimpin Yahudi

Pemimpin-pemimpin Yahudi (Farisi, Saduki & Akhli Taurat) adalah orang-orang yang sangat ketat dan disiplin di dalam mempelajari Alkitabnya. Tetapi tanpa mereka sadari, mereka sebenarnya tidak mengenal Allah yang selalu mereka sebut Yehova sehingga mereka juga tidak dapat mengenal Kristus dan menolak-Nya (Yoh. 8:19, 16:3).

Didalam Matius 16:1-4 dicatat perdebatan Kristus dengan para pemimpin Yahudi. Mereka meminta tanda dari Yesus supaya mereka tahu dengn pasti bahwa Yesus adalah Mesias. Tuhan tidak memberikan tanda yang diminta, malah Ia menegur dengan keras kesalahan mereka: Tidak dapat membedakan (tidak memiliki kemampuan untuk membedakan) apakah Yesus memang dari Allah atau tidak.

Tuhan berkata “..Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak.” (ay. 3)

Disini kita melihat bahwa kemampuan untuk membedakan apakah sesuatu itu dari Allah atau tidak, merupakan tanggung jawab pribadi yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Tidak ada alasan “saya tidak tahu.” Pada akhir zaman, banyak pemimpin-pemimpin Kristen yang telah melakukan berbagai hal-hal rohani yang besar (mujizat, nubuat dan mengusir setan) kaget karena ternyata mereka tidak dikenal Allah. Tanpa mereka sadari mereka telah menjadi nabi-nabi/guru-guru palsu (Mat. 7:21-23).

Perintah untuk Memiliki Kemampuan Discernment

Orang Israel (yang juga gambaran dari umat Kristen sekarang) binasa karena mereka tidak mengenal Allah. Hal itu terjadi karena mereka sendiri yang menolak pengenalan itu (Hosea 4:6)

“Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah; karena engkaulah yang menolak pengenalan itu...” (Hos. 4:6)

Karena itu jugalah, maka Alkitab memerintahkan orang-orang Kristen untuk memiliki kemampuan untuk membedakan apakah sesuatu (termasuk ajaran) itu dari Allah atau tidak, baik atau jahat (Rom. 12:2; Ibr. 5:13-14).

Mengapa Seseorang Tidak Memiliki Kemampuan untuk menilai itu?

Jika dibaca Hosea 4 diatas, maka jelaslah bahwa Israel berdosa karena para imam dan nabinya tidak mengajar dengan benar. Yang seharusnya mereka mengajarkan pertobatan, malah mereka mengharapkan umat Israel berbuat salah, agar para imam itu mendapatkan rezeki dari dosa-dosa orang Israel (ay. 8).

Mereka mendapat rezeki dari dosa umat-Ku dan mengharapkan umat-Ku itu berbuat salah” (Hos. 4:8)

Kondisi serupa banyak kita temukan di dalam Gereja masa kini. Sangat jarang kita temukan pengajaran yang menuntut pertobatan dan tuntunan yang benar. Yang banyak keluar dari mimbar adalah ajaran-ajaran tentang kesuksesan, kemakmuran yang bukan merupakan Injil pertobatan dan keselamatan.

Karena itu, mendirikan gereja telah menjadi obsesi bagi banyak orang karena contoh-contoh hidup mewah yang ditunjukkan oleh para pemimpin gereja dari uang jemaatnya. Penulis yang pernah menjadi pengajar disekolah-sekolah teologi selama 7 tahunan mengerti dengan baik tentang obsesi ini dari murid-murid seminari yang diajar.

Rasul Petrus sudah memperingatkan akan adanya guru-guru palsu yang ajaran-ajarannya enak didengar agar mereka dapat mencari untung dari jemaat. Padahal pengajaran-pengajaran mereka adalah “cerita-cerita isapan jempol” semata (2Pet. 2:1-3).

Rasul Paulus juga mengingatkan bahwa akan ada saatnya dimana jemaat “akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya” dan “mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng” (2Tim. 4:3-4).

Jadi salah siapa, pemimpinnya atau jemaatnya? Keduanya. Pemimpinnya dimotivasi dengan keserakahan untuk mendapat untung dari keserakahan jemaatnya, dan jemaatnya suka memilih pemimpin yang enak didengarnya sekalipun merupakan dongeng yang tidak memiliki unsur kebenaran.

Mengapa ada banyak pemimpin dan jemaat yang suka seperti itu?

Karena dosa. Baik pemimpin maupun umatnya secara tidak sadar telah diikat oleh dosa, terutama dosa ketamakan. Jemaat dijanjikan berkat-berkat tanpa pengajaran tentang pertobatan, dan para pemimpin mengajarkan janji-janji berkat dengan syarat harus “memberi kepada Tuhan” (baca: memberi untuk rekeningnya). Keduanya klop dan terus berkembang.

Padahal ajaran Alkitab tentang pengikut Yesus adalah “menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Aku.” Hal ini berbeda 180 derajat dengan ajaran-ajaran masa kini. Jika para Rasul dan murid-murid Tuhan menderita dan martir sebagai bukti mereka adalah pengikut sejati Tuhan, maka sekarang seorang Kristen yang miskin dianggap kurang iman, dan meninggikan para pemimpin yang kaya sebagai orang-orang yang paling hebat imannya.

Kedua, sebagai bukti bahwa mereka bukanlah gembala-gembala sejati dan domba-domba sejati. Injil Yohanes 10 mencatat bagaimana membedakan gembala yg sejati dengan yang tidak, dan domba yang sejati dan yang tidak.

· Seorang gembala sejati rela memberikan nyawanya bagi domba-dombanya disaat bahaya (ay. 11). Gembala palsu (upahan) akan lari (ay. 12) karena motif menggembalakan hny uang (ay. 13).

· Seorang gembala sejati mengenal domba-dombanya dan dikenal domba-dombanya (ay. 14, 27). Gembala upahan tidak peduli untuk mengenal dombanya satu persatu.

· Seorang domba sejati akan mengenal suara gembala sejatinya dan akan mengikutinya (ay. 4, 27)

· Domba sejati akan lari jika mendengar suara yang bukan gembalanya (ay. 5)

Jadi jika seseorang tidak akan dapat membedakan yang mana itu suara Tuhan dan yang mana bukan, maka kemungkinan ia adalah seorang domba palsu yang terus nyaman mengikuti suara gembala upahan. Namun kita harus ingat bahwa hal ini merupakan tanggung jawab penuh dari setiap orang.

Karena itu mari kita rajin menggali Alkitab, karena

Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” (Ibr. 4:12)

Cat: untuk lebih detilnya pembahasan tentang topik ini, bisa dibaca E-Book “Dua Jenis Orang Kristen di dalam Gereja” (klik disini)

Salam

Sihol Christian

229 views0 comments

Comments


bottom of page