top of page

Dispensasional vs Covenant Theology: Apakah Warna Hanya Ada Dua? (Seri Akhir Zaman #6)

  • Writer: Sihol Christian Robirosa
    Sihol Christian Robirosa
  • 1 day ago
  • 4 min read

Dispensasional vs Covenant Theology: Apakah Warna Hanya Ada Dua?
Dispensasional vs Covenant Theology: Apakah Warna Hanya Ada Dua?

Sebagai seorang yang mencintai kedalaman Firman Tuhan, saya sering ditanya, “Kamu ini menganut teologi yang mana? Covenant atau Dispensasional?” Pertanyaan ini seperti ditanya apakah dunia hanya terdiri dari warna hitam dan putih. Sementara kedua sistem teologi ini memberikan kerangka yang sangat berguna untuk memahami narasi besar Alkitab, kita harus berhati-hati agar tidak mengurung kebenaran Allah yang kaya dan dinamis ke dalam kotak-kotak buatan manusia yang kaku. Sejarah gereja menunjukkan bahwa kekakuan semacam ini sering kali menjadi bibit bagi pemikiran-pemikiran yang menyimpang.

 

Tentu, ada kebenaran mutlak yang non-negosiable, contohnya Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan kepada Bapa, keselamatan adalah oleh kasih karunia melalui iman semata, dan Alkitab adalah Firman Allah yang diilhamkan. Namun, di luar fondasi yang esensial ini, khususnya dalam hal penafsiran nubuatan dan penggenapan akhir zaman, kita harus membuka diri dan rendah hati. Allah yang mewahyukan Kitab Suci adalah Allah yang hidup. Dia terus membuka pengertian kita melalui karya-Nya dalam sejarah dan penuntunan Roh Kudus. Mari kita jelajahi kedua pandangan ini bukan untuk memenangkan satu atas yang lain, tetapi untuk menikmati kekayaan pemahaman yang mereka tawarkan.

 

Mengenal Dua “Keluarga Besar” Penafsiran

 

Covenant Theology (Teologi Perjanjian) berakar kuat pada Reformasi Protestan, khususnya di kalangan Reformed dan Presbyterian. Seperti namanya, sistem ini memandang Alkitab sebagai suatu kesatuan yang diikat oleh satu Perjanjian Penebusan (Covenant of Redemption) dalam kekekalan, yang termanifestasi dalam Perjanjian Anugerah (Covenant of Grace) sepanjang sejarah.

 

Teologi ini melihat kesinambungan yang kuat antara Perjanjian Lama dan Baru. Umat Allah adalah satu—yaitu “Israel sejati”, yang terdiri dari semua orang yang percaya, baik di era sebelum maupun sesudah Kristus. Gereja bukanlah sebuah “plan B” Allah, melainkan penggenapan dan kelanjutan dari Israel.

 

Kekuatannya terletak pada penekanannya pada kesatuan Alkitab dan kesinambungan rencana penebusan Allah. Namun, dalam bentuknya yang ekstrem, teologi ini dapat jatuh ke dalam kecenderungan untuk mengabaikan atau melakukan alegorisasi yang berlebihan terhadap nubuatan-nubuatan nasional dan jasmani bagi Israel, yang dapat secara tidak langsung meremehkan signifikansi bangsa Yahudi dalam rencana Allah masa kini dan masa depan.

 

Di sisi lain, ada pemahaman Dispensasionalisme yang muncul pada abad ke-19 yang diletakkan pondasinya oleh John Nelson Darby (1800-1882) dan dipopulerkan oleh Cyrus Ingerson Scofield (1843-1921) melalui penerbitan Scofield Reference Bible. Sistem ini membagi sejarah penebusan Allah ke dalam beberapa periode atau “dispensasi” di mana manusia diuji berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Ciri khasnya yang paling menonjol adalah pemisahan yang jelas antara Israel dan Gereja. Dalam pandangan ini, Israel adalah bangsa jasmani yang merupakan pusat rencana jasmani  Allah, sementara Gereja adalah entitas rohani yang merupakan pusat rencana rohani/spiritual Allah. Keduanya tidak boleh dicampuradukkan.

 

Kekuatannya adalah penekanannya pada penafsiran harfiah terhadap nubuatan, khususnya yang berkaitan dengan masa depan Israel, yang menghasilkan pandangan tentang Kerajaan Seribu Tahun (Millennium) yang literal. Namun, dalam bentuknya yang ekstrem, dispensasionalisme dapat menciptakan pemisahan yang terlalu kaku sehingga seolah-olah Allah memiliki dua rencana keselamatan yang berbeda: satu untuk orang Yahudi dan satu untuk orang non-Yahudi (Gereja). Ini adalah kesalahan terbesar dari pandangan ini.

 

Selain itu, sebagai konsekuensi pemisahan antara Israel dan Gereja yang kaku, dispensasionalis ini juga telah menghasilkan kesalahan mendasar dalam hal penafsiran pre-tribulasinya yang sangat populer dikalangan gereja-gereja pentakosta dan neo-pentakosta (karismatik). Kesalahan ini akan kita bahas pada blog tersendiri nanti.

 

Terus Mencari Pemahaman Yang Benar

 

Daripada memilih satu kubu dan menutup mata terhadap wawasan dari kubu lain, alangkah bijaknya jika kita mempertimbangkan keduanya, dan bersama dengan pemahaman yang terus diungkap secara progressif, kita dapat membangun pemahaman yang lebih alkitabiah dan masuk akal.

 

Sementara ini, cukuplah kita simpulkan hal-hal ini:

 

Pertama, Israel dan Gereja memang adalah dua entitas yang berbeda dalam sejarah keselamatan, tetapi mereka dipersatukan di dalam Kristus. Perjanjian tentang Kerajaan Allah secara jasmani memang dijanjikan kepada bangsa Yahudi secara fisik, keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub. Janji itu tetap berlaku dan akan digenapi secara literal pada saat Kristus memerintah dalam Kerajaan Millennial-Nya. Sementara itu, Gereja—yang terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi yang percaya—tidak menggantikan Israel. Sebaliknya, seperti yang dijelaskan Rasul Paulus dalam Roma 11, kita adalah “cabang-cabang liar yang dicangkokkan ke dalam Pohon Zaitun yang benar” (Israel). Kita ikut menerima sari pati dan berkat dari akar tersebut, yaitu janji-janji Allah melalui para patriarch. Dengan demikian, pandangan “replacement theology” (bahwa Gereja telah menggantikan Israel) tidaklah akurat. Orang percaya non-Yahudi bukanlah pengganti, melainkan peserta yang diundang ke dalam perjanjian yang telah ada.

 

Kedua, di sisi lain, kaum dispensasionalis perlu berhati-hati dengan pemisahan yang terlalu ekstrem. Berita Injil tetap sama, baik untuk orang Yahudi maupun non-Yahudi. Tidak ada dua Injil yang berbeda. Baik orang Yahudi maupun non-Yahudi diselamatkan dengan cara yang sama: oleh kasih karunia melalui iman dalam Yesus Kristus, sang Mesias. Perbedaan yang mungkin terjadi terletak pada “pintu masuk” pemahamannya. Bagi seorang Yahudi, iman kepada Yesus sebagai Mesias adalah penggenapan dari pengharapan mesianik yang telah mereka nantikan selama ribuan tahun. Bagi orang non-Yahudi, itu adalah penerimaan anugerah Allah yang sama sekali baru. Namun, inti berita penebusan dosa dan pendamaian dengan Allah melalui kematian dan kebangkitan Kristus adalah satu dan sama. Salib tidak membeda-bedakan.

 

Kesimpulan: Melampaui Dikotomi, Menuju Kelimpahan

 

Baik Covenant Theology maupun Dispensasionalisme adalah upaya manusia yang sungguh-sungguh untuk menyusun kebenaran Allah yang tak terbatas ke dalam pemahaman yang terbatas. Keduanya memiliki kekuatan dan, yang lebih penting, keduanya memiliki kelemahan. Kekakuan dalam Covenant Theology dapat membutakan kita terhadap detail-detail penggenapan nubuatan yang literal bagi Israel. Sebaliknya, kekakuan dalam Dispensasionalisme telah menghasilkan beberapa penafsiran yang keliru seperti penafsiran Pengangkatan (Rapture) sebelum masa kesukaran (pre-tribulasi Premilenialisme).

 

Oleh karena itu, marilah kita tidak cepat-cepat mengkotakkan diri. Sebaliknya, kita harus menjadi penuntut kebenaran yang rendah hati dan terbuka, menyadari bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup. Dia tidak berhenti berkarya pada abad pertama. Sejarah adalah panggung di mana rencana-Nya terus digenapi, dan pemahaman kita harus terus diperbarui dan diselaraskan dengan Firman-Nya. Daripada berdebat tentang warna hitam dan putih, mari kita mengakui bahwa palet Allah penuh dengan warna-warna yang indah, nuansa yang kaya, dan kejutan-kejutan yang ajaib. Tugas kita adalah mengagumi masterpiece-Nya, bukan membatasinya pada kanvas favorit kita sendiri.

 

Semoga bermanfaat.

Salam Kristen Awam.

TBA, 24 Agustus 2025


 
 
 

Comentarios


© 2018 by Back to The Bible Ministries (BTBM). Proudly created with Wix.com

  • b-facebook
  • Twitter Round
  • Instagram Black Round
bottom of page