top of page
  • Writer's pictureSihol Christian Robirosa

Allah Trinitas Yang Esa (1)

Updated: Sep 21, 2022

Doktrin Trinitas Protestan Bagi Kaum Awam


Allah yang dinyatakan didalam Alkitab orang Kristen adalah Allah Tritunggal Yang Esa. Ia adalah Allah yang unik, yang tidak memiliki persamaan dengan, atau dapat ditiru oleh “allah-allah” lainnya. Disini kita akan mendiskusikan Siapa Allah Tritunggal itu dan bagaimana Ia sangat berbeda dengan “allah-allah” lain, termasuk dengan allah yang diklaim sebagai “Allah Yang Esa” dengan pengertian Satu saja tanpa ada penjelasan tentang apa “Yang Satu itu.”


Namun kita harus mengingatkan bahwa saat kita akan mendiskusikan Siapakah Allah Tritunggal itu, kita harus mengingat keempat prinsip diatas, dan satu kesimpulan dari padanya yaitu:


>> TIDAK ADA satu padanan dalam bahasa manusia yang dapat menjelaskan dengan baik

akan Allah Tritunggal ini. Semua illustrasi yang terbaik sekalipun hanya merupakan gambaran samar yang tidak sepenuhnya bisa dan boleh dianggap dapat menjelaskan tentang Tritunggal sepenuhnya <<


Namun karena Alkitab telah menyatakan akan Allah Yang Benar dan Satu-satunya, baik didalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, maka sebagai ummat Kristus, kita harus “bersiap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu,” (1Pet. 3:15). Ya, jika kita berkata bahwa kita mempercayai Allah Trinitas seperti yang dipercayai oleh para Bapa gereja kita, maka kita harus dapat memberi pertanggung jawaban kepercayaan kita itu. Untuk itu disini kita akan membahas tentang Trinitas sesuai dengan kesaksian Alkitab dengan pengertian yang dipegang oleh Bapa-bapa Gereja, dan diformulasikan didalam konsilikonsili penting sebagai kredo-kredo (Pengakuan Iman) penting gereja.


Mengapa dan darimana konsep Trinitarian Iman Kristen timbul?


Banyak orang, termasuk orang Kristen sendiri yang secara konsep tidak mempercayai Trinitarian karena tidak mengerti atau beranggapan bahwa Tuhan sendiri dan para rasul-Nya tidak pernah menyebutkan istilah tersebut. Apalagi mereka tidak pernah diberi pengajaran yang baik tentang Trinitas, sehingga mereka gampang terjatuh kedalam bidat-bidat yang telah muncul pada abad ke 3 dan ke 4 seperti Sabelianisme (atau Modalisme) pada satu ekstrim dan Arianisme pada ekstrim lain. Atau

bahkan yang tidak memiliki konsep sama sekali, bukan Sabelian, bukan pula Arian, tetapi merupakan “teologi campuran yang membingungkan.” Misalnya, pada masa kini kita masih sering mendengar ada pendeta yang memberi berkat “dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, yaitu didalam nama Yesus Kristus,” atau yang berdoa “ Bapa kami Tuhan Yesus Kristus.” Hal-hal ini adalah gambaran yang nyata pada masa kini bahwa gereja telah kehilangan pengertiannya tentang Trinitas itu. Karena itu kita perlu meninjau ulang bagaimana dan mengapa konsep Trinitas itu kemudian menjadi bagian inti dari Iman Kristen (atau dapat ditegaskan disini bahwa Iman Kristen adalah iman terhadap Trinitas, dan jika ada seseorang yang mengaku Kristen, namun tidak mempercayai Trinitas, maka sesungguhnya ia bukanlah orang Kristen).


Jadi, dari manakah konsep Trinitarian itu muncul dan mengapa ianya kemudian menjadi inti dari Iman Kristen yang sejati?


Konsep Trinitas BUKANLAH konsep yang diformulasikan oleh para teolog atau bapak-bapak gereja dari kesenangannya untuk menemukan hal-hal baru yang menggemparkan agar mendapat nama. Tidak. Konsep ini tersebar didalam seluruh Alkitab (baik PL, terutama didalam Perjanjian Baru setelah Allah menyatakan Diri-Nya secara penuh didalam inkarnasi). Konsep ini diformulasikan sebagai jawaban pertanggung-jawaban (apologet) Gereja terhadap bidat-bidat

yang muncul dari dalam gereja sendiri. Sekarang, bagaimana proses munculnya doktrin Trinitas ini dan apa saja pemicunya? Mari kita membahasnya.


John Stott, seorang tokoh Injili abad ke 21 menjelaskan asal muasal dan alasan munculnya Konsep Trinitas didalam gereja Tuhan. Konsep Allah yang Trinitarian muncul atau lahir dari 3 hal ini:


1. Dari sejarah, mulai Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Artinya, disaat kita mempelajari sejarah pernyataan Allah didalam Alkitab, mau tidak mau kita akan menemukan konsep Trinitarian ini dinyatakan secara progressif. Disini akan dibahas bagaimana konsep monoteisme didalam kitab-kitab Yahudi didalam Perjanjian lama itu kemudian dinyatakan secara lebih nyata didalam Perjanjian Baru sebagai "monoteisme trinitarian" yang berbeda dengan "monoteisme unitarian."


2. Dari kebutuhan penjelasan Teologis akan hubungan antara Allah Bapa dengan Yesus Kristus dan Roh Kudus. Pada masa para rasul dan gereja mula-mula, semua orang percaya menerima bahwa baik Bapa, maupun Kristus dan Roh Kudus adalah Allah. Mereka menerimanya sebagaimana adanya, tidak perlu penjelasan detail mengenai bagaimana hubungan ketiganya karena fokus perhatiannya adalah bagaimana memberitakan Injil dan mendirikan gereja-gereja diantara orang-orang yang belum percaya.


Namun saat gereja mulai besar dan serangan bidat muncul dari dalam gereja, maka gereja harus menjawab dengan suatu doktrin tentang hubungan antara Allah, Kristus dan Roh Kudus. Dari situlah kemudian gereja melalui bapa-bapa gereja memformulasikan hubungan ketiga pribadi Allah yang Trinitarian itu.


3. Dari pengalaman praktis orang-orang percaya. Saat kita dibaptis, maka kita dibaptis dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus. Saat kita berdoa, maka kita datang kepada Bapa melalui Anak-Nya dengan arahan Roh Kudus, dst. Karena hal-hal praktis itu telah dialami oleh orang-orang percaya sejak zaman gereja mula-mula, maka mau tidak mau hal-hal praktis itu harus dimengerti dan dijelaskan dengan lebih baik. Karena tuntutan itu jugalah maka konsep Trinitas harus diformulasikan dengan tegas dan jelas.


Dari ketiga hal tersebut diataslah kemudian gereja memformulasikan doktrin Trinitas

yang merupakan formula Alkitab sendiri mulai dari PL sampai penyataan yang penuh didalam PB.


Sekarang mari kita bahas satu persatu.


1. Doktrin Trinitas Sebagai Tuntutan Sejarah


Doktrin Trinitas tidak muncul begitu saja sekalipun kemudian kita sadari bahwa sejak

Perjanjian Lama, Allah Yang Esa itu juga adalah Allah Trinitarian. Ia merupakan pernyataan progressif Allah di dalam Gereja-Nya yang oleh keperluan apologetik harus menjelaskan hubungan antara Anak Allah/Kristus yang adalah Allah dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Jauh sebelum doktrin Trinitas terkristal pada abad ke 4 pada Konsili Nicea (AD 325), hubungan antara Anak Allah dan Bapa itu telah dibicarakan oleh para apologet abad ke 2 seperti Justin Martyr, Tatian, Athenagoras dan Theofilus dari Antiokhia. Penekanannya kepada hubungan antara Kristus sebagai Logos sebelum inkarnasi dengan Bapa.


Irenaeus (AD 130-200) didalam bukunya “Against Heresies” juga telah melakukan apologet melawan konsep gnostik yang menyatakan bahwa Kristus bukanlah Allah tetapi hanya merupakan salah satu dari emanasi Allah.

Sejarah gereja mencatat bahwa semakin lama, Gereja semakin dituntut untuk menjelaskan hubungan antara ke-Esa-an Allah dengan Keilahian Kristus dan tempat Kristus didalam ke-Allah-an itu. Itulah latar belakang mengapa bapa-bapa Gereja kemudian menyatukan segala daya, doa dan usaha untuk menghasilkan suatu penjelasan yang kuat dan Alkitabiah (apologetika) tentang hubungan antara Allah (Bapa), Kristus (Anak) dan Roh Kudus. Itulah juga sebabnya gereja memformulasikan Trinitas dalam kredo-kredo yang penting, seperti Kredo Nicea (Nicene Creed) dan kredo-kredo lainnya yang menjelaskan hubungan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus (Seperti Kredo Athanasia - Athanasian Creed. Kredo dari gereja latin ini sangat berpengaruh kemudian kepada para Reformator. Kredo ini kemungkinan dibuat setelah 4 sinode penting yaitu Nicea-AD 325, Konstantinopel – AD 381, Efesus-AD 431, dan Chalcedon –AD 451, karena menggunakan konsep Kristologi Chalcedon)


Namun sekarang kita akan kembali jauh ke belakang, bagaimana kitab-kitab Perjanjian Lama yang mengajarkan Monoteisme yang ketat itu ternyata mengandung misteri-misteri yang kemudian hanya dapat dimengerti dalam konteks Trinitas. Sejarah pernyataan Allah yang progressif itulah yang kemudian membuat gereja harus memformulasikan hubungan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Mari kita mulai dengan Perjanjian Lama.


a. Monoteisme didalam Perjanjian Lama


Perjanjian Lama mengajarkan dengan ketat dan tidak salah tentang monoteisme unitarian mereka. Orang-orang Yahudi, mulai usia dini sudah harus dapat menghafalkan dan melafalkan "ayat-ayat Shema mereka" (semacam kalimat syahadat dalam Islam), dan mengucapkannya sekurang-kurangnya dua kali sehari:


  • Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!

  • Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. (Ul. 6:4-5)

Monoteisme ini diperjelas oleh dua dari kesepuluh Hukum Taurat (Hk Taurat 1 & 2). Mereka harus menyembah hanya kepada TUHAN (YHWH, kemudian menjadi “Yehova”) saja, dan bukan kepada yang lainnya. Mereka juga tidak boleh mencoba untuk membuat patung-patung yang disangka sebagai wujud dari dewa/i dan sujud kepadanya. Diantara SEMUA bangsa-bangsa disekitar mereka yang menganut paham politeisme, bangsa Yahudi muncul secara unik dengan monoteismenya. Konsep monoteisme yang ketat ini merupakan penegasan Allah Yehova bahwa Ia tidak dapat disamakan dengan “allah-allah” lain yang sebenarnya bukanlah Allah.


Namun bagi orang-orang yang teliti, seperti para bapa-bapa gereja yang akhli, serius dan tekun mempelajari kitab-kitab Perjanjian Lama, ke-Esa-an dari TUHAN Allah (Allah Yehova) tidak sesederhana seperti pengertian banyak orang yang berkesimpulan bahwa ke-Esa-an Yehova berarti tunggal tanpa ada penjelasan lain.

Para Bapa-bapa gereja kemudian mulai memperhatikan bahwa dalam ke-Esa-an Nya, Allah memiliki misteri-misteri yang dari dahulu telah membuat pusing para teolog/rabbi Yahudi.


Misteri-misteri itu antara lain:


1. Adanya ayat-ayat yang terlihat menyatakan adanya lebih dari satu pribadi didalam Allah. Misalnya, saat Allah akan menciptakan manusia, Ia berkata "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,” (Kej. 1:26). Terlihat disini bahwa Allah yang sendirian menciptakan manusia itu berbicara kepada pribadi lainnya.

Namun saat pikiran kita mulai mengkhayal jangan-jangan Allah memang lebih dari satu

(politeisme), maka ayat selanjutnya mencatat “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:27). Disini Allah dinyatakan secara tegas

sebagai tunggal, bukan jamak.


Demikian pula saat manusia telah jatuh kedalam dosa, maka Allah berkata "Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita,” (Kej. 3:22).


Lalu saat manusia menjadi sombong dengan kebesaran kerajaan manusia yang pertama di Babel, Tuhan berbicara “Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka,” (Kej. 11:7). Namun sekali lagi, saat kita tergoda untuk berkesimpulan bahwa Allah adalah jamak (politeisme), maka ayat selanjutnya kemudian mencatat

“Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi,” (Kej. 11:8). Disini Yehova (TUHAN) adalah tunggal.


Demikianlah kita melihat pola ini: TUHAN Allah yang Esa itu tidak dapat dinyatakan sebagai tunggal begitu saja (tunggal dengan pengertian murni, yaitu hanya satu, unitarian, tanpa penjelasan lain), karena Ia juga menyatakan Diri-Nya dalam bentuk jamak. Namun, saat kita tergoda untuk menyatakan bahwa Ia adalah jamak (politeisme), maka pernyataan-pernyataan selanjutnya menegaskan bahwa Ia adalah tunggal.


2. Adanya teofani-teofani Allah, terutama fakta tentang "Malaikat TUHAN" (“M” huruf besar, atau Malakh Yehova).


Perjanjian Lama dengan tegas menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat melihat

Allah, karena manusia tidak akan tahan melihat kemuliaan-Nya dan pasti mati (Kel. 33:20). Karena itu setiap orang, termasuk para nabi dan rasul yang melihat kemuliaan

Tuhan, merasa takut setengah mati (mis. Yesaya – Yes. 6:5; Gideon - Hak. 6:22; Petrus, Yohanes & Yakobus – Mat. 17:5-7).


Namun demikian, Perjanjian Lama juga dipenuhi dengan catatan-catatan tentang penampakan Allah dalam bentuk yang dapat dilihat, khususnya sebagai manusia atau

malaikat. Didalam kitab Kejadian pasal 18 misalnya. Disitu dinyatakan dengan tegas dan eksplisit bahwa Yehova menampakkan diri kepada Abraham didekat pohon tarbantin di

Mamre, bahkan melakukan diskusi dan negosiasi yang intensif dengan Abraham.


Banyak teofani-teofani lain didalam PL, namun tidaklah cukup tempat disini untuk dibahas. Kita akan memfokuskan diri pada catatan-catatan teofani yang khusus, yaitu

tentang kemunculan berulang dari Malaikat TUHAN.


Malaikat TUHAN dipercaya sebagai wujud penampakan Yehova sendiri (perhatikan kata Malaikat ini diawali oleh huruf “M” huruf besar. Ia bukanlah salah satu dari malaikat-malaikat ciptaan Tuhan lain).

Didalam kelima kitab Musa (Pentateukh) saja banyak perikop yang memperlihatkan kemunculan Malaikat TUHAN ini di identifikasi kan sebagai Allah sendiri. Dimulai saat penampakan-Nya kepada Hagar saat Hagar bersama anaknya Ismael diusir dari Abraham. Setelah memerintahkan Hagar untuk kembali kepada nyonyanya Sara, Sang Malaikat berbicara “Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak

dapat dihitung karena banyaknya" (Kej. 16:10). Disini Malaikat TUHAN tidak bertindak sebagaimana malaikat biasa yang selalu berkata “beginilah Firman Tuhan,” tetapi

berkata “Aku akan..” yang berarti Dialah yang berfirman.


Namun disaat lain, Ia seolah-olah bukan Allah sendiri, tetapi Pribadi lain yang berbeda dengan TUHAN. Langsung pada ayat berikutnya (ayat 11), menyambung firman-Nya yang baru dikatakan-Nya, Malaikat TUHAN kemudian berkata “...sebab TUHAN (cat: menunjuk ke Pribadi lain) telah mendengar tentang penindasan atasmu itu” (Kej. 16:11) yang jelas memperlihatkan Ia berbeda dengan TUHAN.

Hagar sendiri tidak menyangsikan bahwa Ia adalah Allah yang telah berfirman.


Bahkan Allah selalu dicatat dalam bentuk jamak (Elohim). Elohim (Kamus Strong H430) adalah bentuk jamak dari El atau Eloah (Kamus Strong H433). Dalam tata bahasa Ibrani, akhiran “im” menyatakan bentuk jamak, seperti kerub (tunggal) menjadi kerubim, seraf menjadi serafim, dsb. Teolog Kristen pada awalnya setuju dengan interpretasi para rabbi Yahudi bahwa plural dalam kata Elohim tidak menyatakan kejamakan pribadi-Nya, namun kejamakan atribut keilahian-Nya (Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dsb.), namun pendapat ini saat ini sudah kurang populer.


Dengan adanya pernyataan puncak oleh Yesus Kristus dan semakin kokohnya pondasi konsep Trinitas, kata itu sekarang dapat dimaknai bukan hanya sebagai kejamakan atribut illahi-Nya saja, tetapi terutama dimaknai sebagai suatu pintu kepada kejamakan pribadi Allah.


Perlu diingat juga bahwa tata bahasa Ibrani bukan hanya memiliki kata tunggal dan jamak, tetapi juga dual (ganda, rangkap dua). Saat menyebut Elohim, maka yang dipakai adalah kata jamak, bukan tunggal atau dual.


Malaikat TUHAN ini jugalah yang muncul kepada Abraham sesaat sebelum ia mempersembahkan Ishak di bukit Moria. Disaat yang kritis itu, Malaikat TUHAN

berkata kepada Abraham “Abraham, Abraham” dan Abraham menjawab “Ya, Tuhan” (Kej. 22:11). Kemudian Malaikat TUHAN berbicara kepadanya “"Jangan bunuh anak itu

dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal

kepada-Ku" (Kej. 22:12). Disini Malaikat TUHAN berbicara sebagai Allah sendiri,

sekaligus sebagai Pribadi yang berbeda dengan Allah (“...engkau takut akan Allah” bukan “takut akan Aku”), tetapi dengan penekanan kepada arti berbicara sebagai Allah

sendiri.


Namun didalam ayat 16, Malaikat TUHAN berfirman lagi “Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri--demikianlah firman TUHAN--:” (Kej. 22:16), yang memperlihatkan

perbedaan pribadi antara Malaikat TUHAN dengan TUHAN yang berfirman.


Sekali lagi kita melihat pola ini: ada kejamakan yang terlihat pada pribadi Allah Yehova Yang Esa itu. Namun saat kita mulai berpikir bahwa Ia jamak, maka kita akan dibawa kembali kepada pengertian bahwa Ia adalah tunggal. Demikian pula sebaliknya: saat kita mulai berpikir bahwa Ia adalah tunggal, maka kita akan diingatkan bahwa Ia jugajamak.


Penampakan Malaikat TUHAN dengan pola seperti ini terus dapat kita temukan didalam Perjanjian Lama. Dialah yang menampakkan diri kepada Yakub sebagai “Allah

yang di Bethel” (Kej. 31:11-13). Dialah Malaikat TUHAN yang menampakkan diri kepada

Musa disemak belukar dan Musa harus sujud kepada-Nya karena TUHAN sendirilah yang berfirman dari sana (Kel. 3:2-7). Dialah juga Panglima Bala Tentara TUHAN yang

menampakkan diri kepada Yosua, yang memerintahkan Yosua untuk menanggalkan kasutnya karena tempat itu menjadi kudus, sama seperti Musa didepan belukar yang

terbakar itu (Yos. 5:13-15). Dan banyak lain lagi penampakan Malaikat TUHAN yang unik ini, sehingga para akhli kitab, maupun para teolog Kristen sepakat tanpa keberatan yang signifikan, menyatakan bahwa Ia bukanlah malaikat ciptaan, namun TUHAN

sendiri dan menuliskan “M” huruf besar untuk membedakannya dengan malaikat-malaikat ciptaan.


Teofani-teofani, secara khusus penampakan Malaikat TUHAN ini membuat kita berpikir bahwa TUHAN Allah, sekalipun Ia adalah Esa, namun tidaklah sesederhana pengertian tunggal biasa. Ia juga memiliki aspek kejamakan.


3. Adanya distingsi (pembedaan) didalam Diri Allah sendiri, terutama dalam hubungannya dengan Mesias yang dinantikan.


Para rabbi dan teolog Yahudi telah sejak lama bertanya-tanya tentang ayat-ayat tertentu yang memperlihatkan adanya pembedaan didalam Yehova sendiri. Mazmur 110 misalnya. Mazmur ini dituliskan oleh Daud untuk seseorang yang disebutnya

sebagai “Tuanku” (“Adonai”- ay. 1).62 Tuannya Daud ini dikaruniakan oleh Yehova untuk duduk sebagai raja dari Sion sebagai tangan Yehova untuk meremukkan kerajaan-kerajaan pada hari murka Yehova (ay. 5-6). Tentara-Nya (menunjuk ke Adonai) bukan

berhiaskan senjata, tetapi kekudusan (ay. 3). Yang lebih membingungkan para rabbi,

Sang Tuan itu juga diangkat oleh Yehova melalui sumpah kekal menjadi Imam yang kekal menurut Melkisedek. Sekarang kita dapat mengerti bahwa yang dimaksud Adonai nya Daud disini adalah Mesias karena Tuhan Yesus sendiri yang mengatakannya

didalam Matius 22:41-46. Namun para rabbi Yahudi tetap tidak mengerti Siapa yang disebut Daud sebagai Adonai itu. Demikian pula didalam Mzm. 2:7. Siapakah raja yang dimaksudkan “diperanakkan” oleh Yehova disini?


Misteri-misteri bagi para rabbi ini kemudian menjadi lebih kompleks ketika berhubungan dengan Mesias yang dijanjikan, yang dalam banyak hal memiliki atribut Yehova, tetapi berbeda dengan Yehova.


Saat Yesaya menuliskan nubuatnya tentang seorang anak yang akan lahir untuk bangsanya yang akan memerintah diatas takhta Daud untuk selamanya, misteri ini

bertambah (Yes. 9:1-6). Apalagi Pribadi yang dijanjikan itu memiliki atribut yang hanya dimiliki oleh Yehova saja. Ia akan disebut “Penasihat Ajaib” (Ia memiliki pengetahuan dan hikmat yang luar biasa/ajaib), “Allah yang Perkasa” (seorang yang Ilahi/bukan manusia biasa yang memiliki kuasa luar biasa), “Bapa yang kekal” (sumber dari kekekalan), dan “Raja Damai” (sumber dari perdamaian dan kedamaian). Semua atribut itu adalah milik Yehova saja. Karena itu nubuatan itu menjadi misteri para rabbi sampai masa kini. Hanya orang Kristen sejati yang mengerti bahwa semua atribut itu cocok

disandang oleh Yesus Kristus, Mesias yang dijanjikan dalam nubuatan ini.


Banyak lagi nubuatan-nubuatan yang berhubungan dengan Seorang dengan Pribadi yang unik yang kemudian dihubungkan sebagai Mesias yang akan datang. Namun

karena ruang yang terbatas, sekali lagi disini hanya akan disebutkan secara sepintas.


Satu misteri lagi bagi para rabbi adalah tentang Seseorang yang diberi kekuasaan sangat besar oleh Yehova sebagai pemegang kekuasaan sebuah kerajaan “yang didirikan oleh Allah Semesta Langit” yaitu suatu kerajaan kekal didalam penglihatan Daniel (Dan. 2:44). Kerajaan itu seperti batu yang pada mulanya kelihatan tidak berarti, tetapi batu itu sanggup menghancurkan kaki patung itu. Batu itu bahkan kemudian menjadi suatu gunung besar yang memenuhi seluruh bumi (Dan. 2:34-35, 44-45).


Didalam penglihatan yang paralel, Daniel melihat bahwa Allah akan mendirikan suatu Kerajaan Kekal yang kepemimpinannya diserahkan kepada seorang “seperti anak manusia” (Dan. 7:13-14). Siapakah “anak manusia” itu? Orang-orang Yahudi kemudian memakai terminologi “Anak Manusia” untuk menunjuk kepada Mesias yang dijanjikan.


Siapakah Ia dan kerajaan apakah yang dipimpin-Nya? Itu adalah suatu misteri bagi para rabbi Yahudi bahkan sampai kini.


Misteri lainnya adalah tentang Seorang raja yang akan muncul dari Bethlehem yang di Efrata yang asalnya “sejak purbakala, sejak dahulu kala” (= dari masa kekekalan masa lalu) – Mika 5:1. Dia akan menggembalakan bangsa Israel dengan kekuatan Yehova (ay.

3), memberkati keturunan Yakub, melenyapkan alat-alat perang (memberi keamanan & kedamaian), dan memulihkan penyembahan yang sejati (ay. 6-13), dan memerintah bangsa-bangsa dengan keras (ay. 14). Siapakah raja yang awalnya dari kekekalan?

Sekalipun para rabbi mengharapkan Mesias yang hebat, namun tidak ada manusia yang awalnya dari kekekalan.


Itulah sebagian dari misteri-misteri Perjanjian Lama tentang Pribadi Yehova dan Sosok lain yang selalu muncul didalam kitab-kitab mereka. Karena itu, sekalipun kitab-kitab Perjanjian Lama itu menekankan bahwa Yehova adalah Esa, namun ke-Esa-an Yehova bukanlah ketunggalan dengan pengertian “tunggal tanpa penjelasan lain.”


Setelah inkarnasi, dikemudian hari kita akan dibawa kepada pengertian yang jernih tentang misteri-misteri Perjanjian Lama itu, dan olehnya kita semakin mengerti akan Pribadi Yehova yang Trinitarian. (bersambung)




1,075 views1 comment

1 commentaire


Denis Desmanto
Denis Desmanto
10 mai 2020

Yesus di Injil Markus 12 : 29 mengucapkan Shema Yisrael yang dikutip dari Ulangan 6 : 4


Aksara Ibrani, " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד. "


Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani, " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad. "


🕎✡️🐟ש🕊️📖🗺️

J'aime
bottom of page